Selasa, 27 November 2012

Mutiara Terpendam


Anak itu,  kembali mendongakkan wajahnya berkali-kali...dan kali ini aku tak kuasa melihat wajahnya. Wajah penuh keraguan, kebimbangan, keletihan terlihat dari pelupuk matanya. Ya, diusianya yg menginjak 15 tahun, dia harus berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, menumpang hidup di rumah orang dengan bekerja sebagai buruh untuk membiayai sekolahnya. Kedua orang tuanya sudah tidak diketahui rimba dan jejaknya. Tega sekali kedua orang tuanya menelantarkan anaknya tanpa memikirkan bagaimana keadaan anaknya, “ apa dia sudah makan?”, “di rumah sama siapa?”, “bagaimana dengan pakaiannya?”, “sekolahnya?”aahh...pertanyaan-pertanyaan itu malah menggelayut  dipikranku dan tak tahu apa orang tuanya juga sepemikiran denganku saat ini? Sepertinya TIDAK!!! Buktinya.......faktanya pada saaat ini, takdir membawanya menjadi sebatang kara dan yang pasti dunia terlalu kejam buat dirinya untuk saat ini.
                Awalnya aku tidak tahu kalau dia sudah tidak tinggal dengan orang tuanya dan membiayai hidupnya sendiri, hal ini dikarenakan mungkin aku kurang peka dengan keadaan anak didikku diluar sekolah, dan baru kuketahui keadaan sebenarnya semenjak dia menginjakkan kakinya di kelas 9. Tapi yang jelas, aku sudah menyukainya sejak aku mulai mengajar ditempat ini. Sebut saja nama anak itu Arik, anaknya lumayan pintar, rajin, sopan, kreatif , kritis dan bisa menempatkan dirinya dimanapun dia berada atau dengan kata lain ngerti toto kromo.  Dalam artian yang luas bagaimana dia bertindak-tanduk, bagaimana caranya agar tetap bisa melanjutkan sekolahnya.  Itulah yang menjadi nilai plus baginya disaat banyaknya degradasi  moral  anak-anak jaman teknologi saat ini. Dimana teman-temannya banyak yang membolos, tidak memperhatikan guru yang mengajarnya, tidak ada sopan santun sama guru-gurunya, etc. Tetapi  dia berbeda, dia  rajin datang ke sekolah setiap hari walaupun kadang sering  terlambat  dengan alasan membantu bosnya masak di dapur,,ah anak ini makin membuat aku terharu, tak dapat berkata-kata lagi,  tak kuasa rasanya aku menahan air mata ini, tapi aku harus bertahan, aku tidak ingin membuatnya merasa begitu menyedihkan didepanku.  Dan ternyata kaupun bisa memasak. That’s great!!!
                “Bu, kemarin lusa saya lho yang nganter asbes ke rumah ibu lho..”, katanya dengan antusias sekali.
                “Lho, iya kah? kok bisa?” jawabku dengan antusias pula.
                “ Iya bu, sekarang saya kan bantu-bantu di mas Anto itu bu, mem bantu mengantar barang-barang pesanan ke rumah para langganan.” Jawabnya.
                “Bener  tah? Sejak kapan?” Makin antusias dan penasaran.
“ Begini bu awal ceritanya...bla...bla...bla...bla...”.
                Itulah awal mula aku mengerti tentang cerita Arik sebenarnya,  dia begitu antusias menceritakan kisah hidupnya berjuang sendiri untuk melanjutkan sekolahnya dan hidupnya tanpa orang tua disisinya disertai dengan guratan-guratan kesedihan yang terlihat jelas di mata dan serak suaranya.
                Dan lagi-lagi aku temui mutiara terpendam itu....
                Lanjutkan perjuanganmu nak, jalanmu masih panjang...semoga masa depan cerah menantimu. Aamiin J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar