Anak itu, kembali mendongakkan wajahnya berkali-kali...dan
kali ini aku tak kuasa melihat wajahnya. Wajah penuh keraguan, kebimbangan,
keletihan terlihat dari pelupuk matanya. Ya, diusianya yg menginjak 15 tahun,
dia harus berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, menumpang hidup
di rumah orang dengan bekerja sebagai buruh untuk membiayai sekolahnya. Kedua
orang tuanya sudah tidak diketahui rimba dan jejaknya. Tega sekali kedua orang
tuanya menelantarkan anaknya tanpa memikirkan bagaimana keadaan anaknya, “ apa
dia sudah makan?”, “di rumah sama siapa?”, “bagaimana dengan pakaiannya?”, “sekolahnya?”aahh...pertanyaan-pertanyaan
itu malah menggelayut dipikranku dan tak
tahu apa orang tuanya juga sepemikiran denganku saat ini? Sepertinya TIDAK!!! Buktinya.......faktanya
pada saaat ini, takdir membawanya menjadi sebatang kara dan yang pasti dunia terlalu
kejam buat dirinya untuk saat ini.
Awalnya aku tidak tahu kalau dia sudah tidak tinggal
dengan orang tuanya dan membiayai hidupnya sendiri, hal ini dikarenakan mungkin
aku kurang peka dengan keadaan anak didikku diluar sekolah, dan baru kuketahui
keadaan sebenarnya semenjak dia menginjakkan kakinya di kelas 9. Tapi yang
jelas, aku sudah menyukainya sejak aku mulai mengajar ditempat ini. Sebut saja
nama anak itu Arik, anaknya lumayan pintar, rajin, sopan, kreatif , kritis dan
bisa menempatkan dirinya dimanapun dia berada atau dengan kata lain ngerti toto
kromo. Dalam artian yang luas bagaimana
dia bertindak-tanduk, bagaimana caranya agar tetap bisa melanjutkan sekolahnya.
Itulah yang menjadi nilai plus baginya disaat
banyaknya degradasi moral anak-anak jaman teknologi saat ini. Dimana teman-temannya
banyak yang membolos, tidak memperhatikan guru yang mengajarnya, tidak ada
sopan santun sama guru-gurunya, etc. Tetapi dia berbeda, dia rajin datang ke sekolah setiap hari walaupun
kadang sering terlambat dengan alasan membantu bosnya masak di dapur,,ah
anak ini makin membuat aku terharu, tak dapat berkata-kata lagi, tak kuasa rasanya aku menahan air mata ini,
tapi aku harus bertahan, aku tidak ingin membuatnya merasa begitu menyedihkan
didepanku. Dan ternyata kaupun bisa
memasak. That’s great!!!
“Bu, kemarin lusa saya lho yang nganter asbes ke
rumah ibu lho..”, katanya dengan antusias sekali.
“Lho, iya kah? kok bisa?” jawabku dengan antusias
pula.
“ Iya bu, sekarang saya kan bantu-bantu di mas Anto
itu bu, mem bantu mengantar barang-barang pesanan ke rumah para langganan.”
Jawabnya.
“Bener tah? Sejak
kapan?” Makin antusias dan penasaran.
“ Begini bu awal
ceritanya...bla...bla...bla...bla...”.
Itulah awal mula aku mengerti tentang cerita Arik
sebenarnya, dia begitu antusias menceritakan
kisah hidupnya berjuang sendiri untuk melanjutkan sekolahnya dan hidupnya tanpa
orang tua disisinya disertai dengan guratan-guratan kesedihan yang terlihat
jelas di mata dan serak suaranya.
Dan lagi-lagi aku temui mutiara terpendam itu....
Lanjutkan perjuanganmu nak, jalanmu masih
panjang...semoga masa depan cerah menantimu. Aamiin J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar