Kamis, 29 November 2012

Kok, Jualan kita tidak ada yang beli bu???


Setelah bapakku tidak kuat lagi untuk bekerja di sawah sebagai buruh tani, yang meliputi mencangkul, “jombret1”, “unduh2”,”ngaret3 ” .Karena faktor usia dan tenaganya yang sudah mulai rapuh otomatis yang mencari nafkah adalah ibuku. Ya, ibuku menjadi tulang punggung keluarga, ibu  bekerja “srabutan4”sebagai buruh tani. Dan kalau tidak ada yang membutuhkan tenaganya maka ibuku akan “leles5” atau mencari kayu bakar untuk dijual, dimana uang hasil penjualannya untuk keperluan kita sehari-hari.
            Sampai pada suatu ketika ibu mengambil batu loncatan baru dengan mencoba berdagang didepan rumah. Karena kebetulan rumah kami jaraknya dekat dengan sekolahan SD (dimana sorenya , ditempati SMP) maka hal ini dimanfaatkan oleh ibu untuk berjualan jajanan atau “snack” anak-anak sekolah.  Walaupun belum terlihat hasilnya tapi untungnya cukup lumayan,  walaupun seringnya dapat untung yang pas-pasan, tetapi yang penting cukup buat makan dan kehidupan kami berempat.  Selain berjualan di depan rumah, kami biasanya juga berjualan dimana ada kegiatan yang tidak biasa atau tontonan semisal film layar tancap, wayangan, jaranan atau apapun itu yang ada dikantor kelurahan, di desa lain atau dimanapun itu yang jaraknya lumayan jauh dari rumah, kami rela mendatanginya  untuk mendapatkan keuntungan yang lebih. Karena kalau ada tontonan maka akan banyak orang  yang menonton, baik hanya sekedar jalan-jalan atau benar-benar ingin menikmati hiburan tersebut. Maklum, orang desa akan antusias keluar rumah jika ada suatu tontonan. Hal ini dikarenakan tontonan itu merupakan hal yang langka karena tidak pasti ada setiap tahunnya, hanya sewaktu-waktu saja jika ada acara “bersih desa” dikelurahan atau ada orang yang punya “gawe” nikahan atau “tanggapan”. Maka dari itu kami tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan ini, dimanapun tontonan itu berada pasti akan kita datangi. Jualan kami pun bertambah, kami  tidak hanya menjual panganan berupa snack tetapi tetapi juga kacang rebus dan kacang goreng yang merupakan favoritnya orang-orang desa. Dan yang pasti jualan kami yang bakal ludes laris manis adalah kacang-kacangan itu. Yang paling membuat saya miris dan sedih dengan semua ini jika melihat ibu menjajakan jualan kami yang masih banyak sementara bapak harus menggendong adik yang sudah rewel karena mengantuk, dan saya hanya melihat kepolosan “kesedihan” anak kecil dalam diri saya. Dan satu hal yang tidak dapat saya tolerir adalah  “kesedihan” dalam hati saya ketika harus melihat bapak saya  yang sudah tua renta harus memikul jualan kami dari rumah sampai tempat tontonan berada, dimana yang rata-rata semua jaraknya sangat jauh dari rumah kami. Saya benar-benar tidak tega melihatnya, melihat punggung tuanya yang sudah mulai membungkuk ditambah dengan beban berat pikulannya membuat jalannya terseok-seok..oh bapak..hal ini yang tak pernah aku lupa darimu. Dan kami berempat akan berangkat sore sekitar jam empatan atau sebelum maghrib dan pulang tengah malam, dimana orang-orang lain sudah tertidur pulas dengan selimutnya tetapi kami masih melangkahkan kaki kami untuk pulang demi mengumpulkan recehan rupiah untuk kelangsungan hidup kami.
Dan di episode “perdagangan” ini ada satu fase yang tak akan pernah kulupakan sepanjang  hidupku dan akan selalu terngiang-ngiang dalam ingatanku sebagai kisah paling menyedihkan dan memilukan seorang ibu dan anak. Padahal waktu itu aku masih kelas satu SD tapi masih sangat jelas dalam ingatanku. Dan itu merupakan awal mulanya ibu mulai berdagang. Seperti yang telah aku sebutkan sebelumnya pada awalnya ibu hanya jualan jajan-jajan snack anak sekolah seperti krupuk, menyeng, mie, dll. Saat itu, hari minggu tepatnya, tiba-tiba ibu diajak tetangga kami yang rumahnya tidak jauh dari rumah kami untuk berjualan di “persel”, dimana pada hari itu para pekerjanya akan gajian.
“Mbah De, ayo ikut aku ke “persel” jualan. Sekarang di “persel” pekerjanya bayaran jadi uangnya banyak, kalau kita jualan kesana pasti laris manis. Aku mau jualan gorengan. ” Kata tetanggaku.
“Lha aku cuma jualan jajan seperti ini apa ada yang beli?” kata ibuku
“Ya malah laris mbah, kalau gajian seperti ini orang-orang pada antusias membelanjakan uangnya, banyak juga yang jualan disana, ayo ya berangkat sekarang? “ lanjut tetanggaku dengan antusias dan berapi-api.
           “Tapi jajanku cuma krupuk-krupukan gitu apa ya bakal laku lho Ni?” Ibuku berkata agak ragu
“Halah..sudah jangan khawatir, pasti orang-orang bakal beli..orang-orang disana itu 'rakus' banget dalam membelanjakan uangnya, kalau beli tidak satu atau dua malah diborong, sudah ya bungkus semua daganganmu, aku tak pulang mengambil daganganku.” Kata tetanggaku dengan penuh provokasi.
Kali ini ibuku benar-benar terprovokasi dan dengan antusiasnya ibu memasukkan semua jajan-jajan itu kedalam kresek merah besar, jadilah dua kresek besar dan satu kresek kecil putih. Dan saat itu ibu mengajak aku sekalian. Jam  13.30, disaat panas begitu teriknya kami berangkat ke ”persel”, yang jaraknya lumayan jauh dari rumah. Lewat jalan beraspal kami bertiga menyusuri jalan dibawah terik matahari yang begitu menyengat tapi kami tidak menghiraukannya karena disepanjang jalan tetanggaku itu terus bercerita ‘manis’ tentang keadaan disana, kalau memang suasananya ramai, orang-orang semuanya pada beli, dagangan kita pasti laris manis diserbunya, karena orang –orang ini belinya tidak perbiji tapi diborong. Pokoknya tetanggaku ini benar-benar hebat dalam memprovokasi dan melambungkan angan-angan kami, terutama diriku, aku sudah membayangkan betapa dagangan kami bakal laris manis dan kami akan memperoleh uang banyak. Beberapa lembaran rupiahpun sudah menari-nari dibenakku. Kamipun tersenyum-senyum, aku yakin apa yang dipikirkan ibuku pasti sama dengan yang aku bayangkan karena tetanggaku cerita kalau dagangannya dan dagangan adiknya selalu habis tak tersisa. Biasanya dia jualan dengan adiknya tapi berhubung adiknya tidak jualan hari ini makanya tetanggaku mengajak ibuku sebagai temannya sekaligus jualan. Mimpi kami, senyum kami, tertawanya kami sekejap sirna setelah kami menjajakan dagangan kami. Setiba di “persel” memang suasananya lumayan rame, kami menggelar dagangan kami dengan senyum merekah yang menghiasi bibir kami. Ibuku menggelar dagangannya tepat disebelah gelaran dagangan tetanggaku, karena tetanggaku hanya jualan gorangan jadi dia tidak membutuhkan space luas, hanya dua patiman dan tempat dia duduk. Sementara ibuku menggelar dagangannya diatas “kebo6” yang telah kami bawa dari rumah. Disitu suasananya memang seperti pasar  tapi terletak ditengah kebun kopi, para pedagang mengelar dagangannya dipinggir jalan yang dilewati para pekerja dimana dikanan kiri jalan itu penuh dengan pohon kopi (ya iyalah secara memang itu kebun kopi). Di pasar itu lumayan banyak pedagang menjajakan jualannya, ada yang jual kain, baju, peralatan masak, alat-alat rumah tangga, jualan kacang goreng atau rebus, nasi pecel, gorengan, dan satu-satunya yang jualan jajan-jajan snack, ya cuma kami berdua (aku dan ibuku), kelihatan sekali apa yang kami jual tidak berkelas.
Hal yang ditunggu-tunggu tiba, sekitar jam 3 atau setengah  4an para pekerja yang habis gajian datang dengan tawa riang dan senyum sumringah dari bibirnya (secara habis gajian gitu). Ya, saya akui pekerjanya memang banyak, sekitar 50an lebih, oiya para pekerja ini adalah para pekerja perempuan. Yang paling banyak diserbu oleh ibu-ibu adalah para penjual baju dan peralatan masak. Stand tetanggaku juga sudah mulai dikerubungi oleh pembeli sampai dia kewalahan, saya melihat hampir semua dagangan para penjual disana ramai oleh pembeli, dan kau tahu kawan betapa sedih dan tertusuknya hati kami ketika tak seorangpun yang membeli dagangan kami, bahkan ibuku tiap ada yang lewat selalu menjajakan dagangan kami.
“krupuknya mbak...jajannya mbak...”
“krupuknya mbak...jajannya mbak”...
Berkali-kali tapi no respon. Bahkan banyak dari para pekerja itu yang bukannya membeli tetapi malah mlengos dan mencibir ke arah kami. Kesannya seperti bilang ” jajan seperti itu aja kok dijual disini”...ahh..tatapan mata mereka itu, aku tidak akan pernah melupakannya sampai saat ini, tatapan sinis dan merendahkan.
Akhirnya, setelah menunggu sekian lama ada juga pembeli yang membeli dagangan kami itupun cuma satu. Aku rasanya tidak tega melihat wajah ibuku, betapa aku melihat kekecewaan diraut wajahnya. Ibu...akupun juga merasakan hal yang sama, makin sesak ketika melihat semua stand ramai dikunjungi pembeli dan terdengar slentingan beberapa pekerja sambil jalan kasak kusuk berkata bahwa disini kok jualan seperti itu, ya mana laku? Sampai beberapa lama pembeli kami tak bertambah hanya 2 atau 3 orang saja, sampai pada akhirnya ada salah satu tetanggaku yang  juga pekerja disini menghampiri kami.
“Loh mbah De, kok bisa sampai sini?sama siapa?” Tanya tetanggaku
“Sama mbok Tini.” Jawab ibuku
Melihat dagangan ibuku yang masih banyak, dari tatapan tetanggaku aku bisa menyimpulkan seperti ini..merasa kasihan juga sekaligus menganggap kami bodoh.
Lalu dia berkata, 
“Harusnya pean jualan kacang rebus gitu juga karena disini kalau cuma jualan seperti ini tidak ada orang yang tertarik, kalau krupuk-krupuk dan jajan seperti ini mereka sering makan dan ini kan jajanannya anak kecil.” (Tatapan matanya, mengisyaratkan ‘sorry to say this’)
“ Iya ini tadi tidak kepikiran sampai kesitu”, jawab ibuku dengan lemahnya.
“Tidak apa-apa mbah, kalau tidak begini kan tidak tahu suasana pasar “persel” “,kata tetanggaku sambil berlalu pergi.
Karena setelah sekian lama tidak ada pembeli, akhirnya ibuku mengajakku pulang. Kami memasukkan dagangan kami kembali ke kresek merah, sementara itu kulihat dagangan tetanggaku masih laris manis diserbu pembeli. Setelah selesai membungkus semuanya, ibuku pamit ke tetanggaku.
“Ni, aku pulang dulu ya?”
“Loh pulang mbah? Ya wes, aku tak menghabiskan ini dulu, tinggal sedikit”. Jawabnya sambil meladeni para pembeli.
Disepanjang jalan pulang kami berjalan dengan gontai seperti orang yang kalah perang, kami tidak mendapatkan apa-apa, benar-benar tidak sesuai dengan pengorbanan dan perjalanan kami menempuh jarak sejauh itu tanpa dapat apa-apa. Ibuku tidak berkata apa-apa, hanya diam seribu bahasa dan dari raut wajahnya terlihat kekecawaan yang begitu mendalam. Aku dengan kepolosan dan kesedihan dalam diriku bebicara sendiri tapi  dengan keras dan nada marah.  
“Kok jualan kita tidak ada yang membeli ya?”
“Malah jualannya mbok Tini laris...banyak yang beli, hoalah”
Aku yakin ibuku mendengarnya dengan jelas tapi hanya satu kalimat yang keluar dari mulutnya yang membuat air mataku tidak berhenti jatuh menetes yang terus menerus ke pipiku disepanjang perjalanan kami menuju ke rumah.
“Untung ae nduk, kamu tadi ikut, sehingga emak ada temannya”. Hanya satu baris kalimat itulah yang keluar dari mulut ibuku.
Jleb! Saat itu juga airmataku terus menerus mengalir, tak terbendung, tak dapat tertahankan dan aku tidak dapat berkata apa-apa, sesak rasanya hati ini. Karena hal ini,  aku jadi tidak  merasakan beban berat dagangan kami yang ada di kresek merah. Aku terus berjalan menunduk di belakang ibuku agar tidak terlihat olehnya kalau aku menangis, tapi aku tahu pasti di saat yang sama pula ibuku pun juga sedang menangis meraung-raung dalam hatinya. Oh..Ibu I love you so much.

CK:
1. Memotong rumput-rumput yang ada di kebun kopi
2. Memetik atau memanen kopi 
3. Mencari rumput untuk makanan kambing
4. Gonta ganti atau apa saja yang bisa di kerjakan
5. Kebun kopi milik PTPN XII
6. Tikar yang terbuat dari karung beras


Tidak ada komentar:

Posting Komentar