Kamis, 29 November 2012

HIDUP


Apa arti hidup ini?
Aku sendiri juga tidak begitu tahu
Aku hanya bisa merasakan  pahitnya kehidupan
Tak satu manispun yang kurasakan
Aku tahu ini berlebihan
But, ini jujur apa adanya
                Kadang kehidupan akan membuatmu tertawa
                Tetapi kadang juga membuatmu menangis
                Jika engkau tertawa
    Engkau akan lupa akan penderitaanmu
    Seakan-akan engkau orang yang paling bahagia di dunia ini, but....
    Kalau kau sedih
    Kau merasa engkau paling menderita
Kehidupan memang aneh
Kadang aku bosan hidup
Seolah-olah yang membuat semua bencana ini adalah kehidupan
Aku juga tidak tahu
Kenapa aku begitu picik, tetapi....
Dalam hatiku yang paling dalam aku mengharapkan BEAUTIFUL LIFE

*Salah Satu PUISI anak SMA tahun 2003

Everyday 'Duduh'


Setelah beberapa tahun ibuku mencari nafkah dengan berdagang, akhirnya ibu berhenti juga dari pekerjaannya dan mengadu nasib ke kota dengan menjadi buruh. Yup! Buruh teman...sebenarnya jualan emakku maju pesat, tidak hanya menjual jajan tapi juga rujak manis. Dan rujak manis inilah yang membuat laris manis, masih jelas dalam ingatanku kalau kios toko kami lumayan bertambah besar. Dan baru ku ketahui saat ini kalau ibuku memutuskan untuk menutup warungnya dan bekerja sebagai buruh karena ada tetangga yang menyainginya dan berbuat tidak baik terhadap dagangannya sehingga jualan ibu menjadi sepi.
Awalnya ibuku bekerja di Jakarta sebagai buruh anak tetanggaku. Alhasil kami cuma tinggal bertiga dirumah, diusiaku yang masih kecil aku harus mengurus adikku termasuk mencucikan bajunya, mendandaninya sebelum berangkat sekolah. Dan yang paling menyebalkan adalah ketika harus mencucikan ompolnya. Ya, walaupun sudah TK tapi adikku masih suka mengompol. Walaupun kadang sebel dengan tingkahnya yang masih ngompol tapi aku tanpa terpaksa tetap mencuci ompol dan baju-bajunya, yah aku sangat menyayanginya. Secara tiba-tiba dalam diriku tumbuh rasa ‘”responsibility” untuk menjaga adikku dan membantu semua keperluannya. Ya, aku seakan menjadi ibu dan kakak untuknya, walaupun kami sering bertengkar tapi saya selalu berusaha berbuat terbaik untuknya dan melindunginya. I love you sist...Sementara bapakku sibuk dalam urusan dapur dan memasakkan untuk kami semua. Ah..bapak I love you too.. J
Dan bapak menjadi ‘ibu’ rumah tangga dikeluarga kami, karena usianya sudah renta maka pekerjaannya hanya memasak di dapur. Setelah bekerja di Jakarta, yang pulangnya tidak menentu, ibu memutuskan untuk bekerja ke kota yang dekat dengan kami. Ibu bekerja di kota Malang dan lagi-lagi masih sebagai “buruh”, kalau sekarang sih istilahnya sebagai asisten rumah tangga. Karena ibu tidak juga tidak menentu mengirimi kami uang, maka kami yang dirumahpun meng’irit’ atau berhemat, tepatnya bukan meng’irit ‘ tetapi memang tidak ada sehingga yang kami buat makan sehari-haripun ‘seadanya’. Tahukah kau kawan-kawan, apa makanan pokok kami selain nasi? dan bagiku ini adalah lauk ‘terlezat’ yang pernah kurasakan dalam hidupku. This is it ‘duduh’ tanpa sayur, just ‘DUDUH’ kawan...D-U-DU-Hรจ’DUDUH’, yup! tiap hari kami hanya makan nasi sama ‘duduh’. ‘Duduh’ itu kalau dalam bahasa Indonesia adalah kuah santan yang telah di beri bumbu, hanya kuah santan tanpa ada sayur didalamnya. Hal ini di karenakan tidak ada uang untuk membeli sayur atau lauk untuk dimasukkan dalam ‘duduh’ itu. Walaupun tidak ada isi sayur didalamnya, kami bertiga begitu menikmatinya ketika menyantapnya, that’s why I called it’s delicious food ever. Setiap tetangga atau saudaraku yang menanyakan kepadaku, “Bapakmu masak apa Tara?” saya dengan lantang dan pede menjawab ‘DUDUH!’, dan seperti biasa tetanggaku bakal nyeletuk “bendino kok duduh”(tiap hari kok masak duduh). Yah, memang seperti itu kenyataannya dan tak ada rasa malu atau apapun dibenakku, malah merasa ‘bangga’ karena tidak ada yang menyamai. Mana ada orang yang hanya memasak santan..ahh.. bapak memang hebat, he’s pioneer of ‘duduh’. ‘Duduh’yang telah menghidupi kami dan membuat kami menjadi orang-orang yang tegar seperti saat ini. Hidup ‘Duduh’!!!

Kok, Jualan kita tidak ada yang beli bu???


Setelah bapakku tidak kuat lagi untuk bekerja di sawah sebagai buruh tani, yang meliputi mencangkul, “jombret1”, “unduh2”,”ngaret3 ” .Karena faktor usia dan tenaganya yang sudah mulai rapuh otomatis yang mencari nafkah adalah ibuku. Ya, ibuku menjadi tulang punggung keluarga, ibu  bekerja “srabutan4”sebagai buruh tani. Dan kalau tidak ada yang membutuhkan tenaganya maka ibuku akan “leles5” atau mencari kayu bakar untuk dijual, dimana uang hasil penjualannya untuk keperluan kita sehari-hari.
            Sampai pada suatu ketika ibu mengambil batu loncatan baru dengan mencoba berdagang didepan rumah. Karena kebetulan rumah kami jaraknya dekat dengan sekolahan SD (dimana sorenya , ditempati SMP) maka hal ini dimanfaatkan oleh ibu untuk berjualan jajanan atau “snack” anak-anak sekolah.  Walaupun belum terlihat hasilnya tapi untungnya cukup lumayan,  walaupun seringnya dapat untung yang pas-pasan, tetapi yang penting cukup buat makan dan kehidupan kami berempat.  Selain berjualan di depan rumah, kami biasanya juga berjualan dimana ada kegiatan yang tidak biasa atau tontonan semisal film layar tancap, wayangan, jaranan atau apapun itu yang ada dikantor kelurahan, di desa lain atau dimanapun itu yang jaraknya lumayan jauh dari rumah, kami rela mendatanginya  untuk mendapatkan keuntungan yang lebih. Karena kalau ada tontonan maka akan banyak orang  yang menonton, baik hanya sekedar jalan-jalan atau benar-benar ingin menikmati hiburan tersebut. Maklum, orang desa akan antusias keluar rumah jika ada suatu tontonan. Hal ini dikarenakan tontonan itu merupakan hal yang langka karena tidak pasti ada setiap tahunnya, hanya sewaktu-waktu saja jika ada acara “bersih desa” dikelurahan atau ada orang yang punya “gawe” nikahan atau “tanggapan”. Maka dari itu kami tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan ini, dimanapun tontonan itu berada pasti akan kita datangi. Jualan kami pun bertambah, kami  tidak hanya menjual panganan berupa snack tetapi tetapi juga kacang rebus dan kacang goreng yang merupakan favoritnya orang-orang desa. Dan yang pasti jualan kami yang bakal ludes laris manis adalah kacang-kacangan itu. Yang paling membuat saya miris dan sedih dengan semua ini jika melihat ibu menjajakan jualan kami yang masih banyak sementara bapak harus menggendong adik yang sudah rewel karena mengantuk, dan saya hanya melihat kepolosan “kesedihan” anak kecil dalam diri saya. Dan satu hal yang tidak dapat saya tolerir adalah  “kesedihan” dalam hati saya ketika harus melihat bapak saya  yang sudah tua renta harus memikul jualan kami dari rumah sampai tempat tontonan berada, dimana yang rata-rata semua jaraknya sangat jauh dari rumah kami. Saya benar-benar tidak tega melihatnya, melihat punggung tuanya yang sudah mulai membungkuk ditambah dengan beban berat pikulannya membuat jalannya terseok-seok..oh bapak..hal ini yang tak pernah aku lupa darimu. Dan kami berempat akan berangkat sore sekitar jam empatan atau sebelum maghrib dan pulang tengah malam, dimana orang-orang lain sudah tertidur pulas dengan selimutnya tetapi kami masih melangkahkan kaki kami untuk pulang demi mengumpulkan recehan rupiah untuk kelangsungan hidup kami.
Dan di episode “perdagangan” ini ada satu fase yang tak akan pernah kulupakan sepanjang  hidupku dan akan selalu terngiang-ngiang dalam ingatanku sebagai kisah paling menyedihkan dan memilukan seorang ibu dan anak. Padahal waktu itu aku masih kelas satu SD tapi masih sangat jelas dalam ingatanku. Dan itu merupakan awal mulanya ibu mulai berdagang. Seperti yang telah aku sebutkan sebelumnya pada awalnya ibu hanya jualan jajan-jajan snack anak sekolah seperti krupuk, menyeng, mie, dll. Saat itu, hari minggu tepatnya, tiba-tiba ibu diajak tetangga kami yang rumahnya tidak jauh dari rumah kami untuk berjualan di “persel”, dimana pada hari itu para pekerjanya akan gajian.
“Mbah De, ayo ikut aku ke “persel” jualan. Sekarang di “persel” pekerjanya bayaran jadi uangnya banyak, kalau kita jualan kesana pasti laris manis. Aku mau jualan gorengan. ” Kata tetanggaku.
“Lha aku cuma jualan jajan seperti ini apa ada yang beli?” kata ibuku
“Ya malah laris mbah, kalau gajian seperti ini orang-orang pada antusias membelanjakan uangnya, banyak juga yang jualan disana, ayo ya berangkat sekarang? “ lanjut tetanggaku dengan antusias dan berapi-api.
           “Tapi jajanku cuma krupuk-krupukan gitu apa ya bakal laku lho Ni?” Ibuku berkata agak ragu
“Halah..sudah jangan khawatir, pasti orang-orang bakal beli..orang-orang disana itu 'rakus' banget dalam membelanjakan uangnya, kalau beli tidak satu atau dua malah diborong, sudah ya bungkus semua daganganmu, aku tak pulang mengambil daganganku.” Kata tetanggaku dengan penuh provokasi.
Kali ini ibuku benar-benar terprovokasi dan dengan antusiasnya ibu memasukkan semua jajan-jajan itu kedalam kresek merah besar, jadilah dua kresek besar dan satu kresek kecil putih. Dan saat itu ibu mengajak aku sekalian. Jam  13.30, disaat panas begitu teriknya kami berangkat ke ”persel”, yang jaraknya lumayan jauh dari rumah. Lewat jalan beraspal kami bertiga menyusuri jalan dibawah terik matahari yang begitu menyengat tapi kami tidak menghiraukannya karena disepanjang jalan tetanggaku itu terus bercerita ‘manis’ tentang keadaan disana, kalau memang suasananya ramai, orang-orang semuanya pada beli, dagangan kita pasti laris manis diserbunya, karena orang –orang ini belinya tidak perbiji tapi diborong. Pokoknya tetanggaku ini benar-benar hebat dalam memprovokasi dan melambungkan angan-angan kami, terutama diriku, aku sudah membayangkan betapa dagangan kami bakal laris manis dan kami akan memperoleh uang banyak. Beberapa lembaran rupiahpun sudah menari-nari dibenakku. Kamipun tersenyum-senyum, aku yakin apa yang dipikirkan ibuku pasti sama dengan yang aku bayangkan karena tetanggaku cerita kalau dagangannya dan dagangan adiknya selalu habis tak tersisa. Biasanya dia jualan dengan adiknya tapi berhubung adiknya tidak jualan hari ini makanya tetanggaku mengajak ibuku sebagai temannya sekaligus jualan. Mimpi kami, senyum kami, tertawanya kami sekejap sirna setelah kami menjajakan dagangan kami. Setiba di “persel” memang suasananya lumayan rame, kami menggelar dagangan kami dengan senyum merekah yang menghiasi bibir kami. Ibuku menggelar dagangannya tepat disebelah gelaran dagangan tetanggaku, karena tetanggaku hanya jualan gorangan jadi dia tidak membutuhkan space luas, hanya dua patiman dan tempat dia duduk. Sementara ibuku menggelar dagangannya diatas “kebo6” yang telah kami bawa dari rumah. Disitu suasananya memang seperti pasar  tapi terletak ditengah kebun kopi, para pedagang mengelar dagangannya dipinggir jalan yang dilewati para pekerja dimana dikanan kiri jalan itu penuh dengan pohon kopi (ya iyalah secara memang itu kebun kopi). Di pasar itu lumayan banyak pedagang menjajakan jualannya, ada yang jual kain, baju, peralatan masak, alat-alat rumah tangga, jualan kacang goreng atau rebus, nasi pecel, gorengan, dan satu-satunya yang jualan jajan-jajan snack, ya cuma kami berdua (aku dan ibuku), kelihatan sekali apa yang kami jual tidak berkelas.
Hal yang ditunggu-tunggu tiba, sekitar jam 3 atau setengah  4an para pekerja yang habis gajian datang dengan tawa riang dan senyum sumringah dari bibirnya (secara habis gajian gitu). Ya, saya akui pekerjanya memang banyak, sekitar 50an lebih, oiya para pekerja ini adalah para pekerja perempuan. Yang paling banyak diserbu oleh ibu-ibu adalah para penjual baju dan peralatan masak. Stand tetanggaku juga sudah mulai dikerubungi oleh pembeli sampai dia kewalahan, saya melihat hampir semua dagangan para penjual disana ramai oleh pembeli, dan kau tahu kawan betapa sedih dan tertusuknya hati kami ketika tak seorangpun yang membeli dagangan kami, bahkan ibuku tiap ada yang lewat selalu menjajakan dagangan kami.
“krupuknya mbak...jajannya mbak...”
“krupuknya mbak...jajannya mbak”...
Berkali-kali tapi no respon. Bahkan banyak dari para pekerja itu yang bukannya membeli tetapi malah mlengos dan mencibir ke arah kami. Kesannya seperti bilang ” jajan seperti itu aja kok dijual disini”...ahh..tatapan mata mereka itu, aku tidak akan pernah melupakannya sampai saat ini, tatapan sinis dan merendahkan.
Akhirnya, setelah menunggu sekian lama ada juga pembeli yang membeli dagangan kami itupun cuma satu. Aku rasanya tidak tega melihat wajah ibuku, betapa aku melihat kekecewaan diraut wajahnya. Ibu...akupun juga merasakan hal yang sama, makin sesak ketika melihat semua stand ramai dikunjungi pembeli dan terdengar slentingan beberapa pekerja sambil jalan kasak kusuk berkata bahwa disini kok jualan seperti itu, ya mana laku? Sampai beberapa lama pembeli kami tak bertambah hanya 2 atau 3 orang saja, sampai pada akhirnya ada salah satu tetanggaku yang  juga pekerja disini menghampiri kami.
“Loh mbah De, kok bisa sampai sini?sama siapa?” Tanya tetanggaku
“Sama mbok Tini.” Jawab ibuku
Melihat dagangan ibuku yang masih banyak, dari tatapan tetanggaku aku bisa menyimpulkan seperti ini..merasa kasihan juga sekaligus menganggap kami bodoh.
Lalu dia berkata, 
“Harusnya pean jualan kacang rebus gitu juga karena disini kalau cuma jualan seperti ini tidak ada orang yang tertarik, kalau krupuk-krupuk dan jajan seperti ini mereka sering makan dan ini kan jajanannya anak kecil.” (Tatapan matanya, mengisyaratkan ‘sorry to say this’)
“ Iya ini tadi tidak kepikiran sampai kesitu”, jawab ibuku dengan lemahnya.
“Tidak apa-apa mbah, kalau tidak begini kan tidak tahu suasana pasar “persel” “,kata tetanggaku sambil berlalu pergi.
Karena setelah sekian lama tidak ada pembeli, akhirnya ibuku mengajakku pulang. Kami memasukkan dagangan kami kembali ke kresek merah, sementara itu kulihat dagangan tetanggaku masih laris manis diserbu pembeli. Setelah selesai membungkus semuanya, ibuku pamit ke tetanggaku.
“Ni, aku pulang dulu ya?”
“Loh pulang mbah? Ya wes, aku tak menghabiskan ini dulu, tinggal sedikit”. Jawabnya sambil meladeni para pembeli.
Disepanjang jalan pulang kami berjalan dengan gontai seperti orang yang kalah perang, kami tidak mendapatkan apa-apa, benar-benar tidak sesuai dengan pengorbanan dan perjalanan kami menempuh jarak sejauh itu tanpa dapat apa-apa. Ibuku tidak berkata apa-apa, hanya diam seribu bahasa dan dari raut wajahnya terlihat kekecawaan yang begitu mendalam. Aku dengan kepolosan dan kesedihan dalam diriku bebicara sendiri tapi  dengan keras dan nada marah.  
“Kok jualan kita tidak ada yang membeli ya?”
“Malah jualannya mbok Tini laris...banyak yang beli, hoalah”
Aku yakin ibuku mendengarnya dengan jelas tapi hanya satu kalimat yang keluar dari mulutnya yang membuat air mataku tidak berhenti jatuh menetes yang terus menerus ke pipiku disepanjang perjalanan kami menuju ke rumah.
“Untung ae nduk, kamu tadi ikut, sehingga emak ada temannya”. Hanya satu baris kalimat itulah yang keluar dari mulut ibuku.
Jleb! Saat itu juga airmataku terus menerus mengalir, tak terbendung, tak dapat tertahankan dan aku tidak dapat berkata apa-apa, sesak rasanya hati ini. Karena hal ini,  aku jadi tidak  merasakan beban berat dagangan kami yang ada di kresek merah. Aku terus berjalan menunduk di belakang ibuku agar tidak terlihat olehnya kalau aku menangis, tapi aku tahu pasti di saat yang sama pula ibuku pun juga sedang menangis meraung-raung dalam hatinya. Oh..Ibu I love you so much.

CK:
1. Memotong rumput-rumput yang ada di kebun kopi
2. Memetik atau memanen kopi 
3. Mencari rumput untuk makanan kambing
4. Gonta ganti atau apa saja yang bisa di kerjakan
5. Kebun kopi milik PTPN XII
6. Tikar yang terbuat dari karung beras


Selasa, 27 November 2012

Mutiara Terpendam


Anak itu,  kembali mendongakkan wajahnya berkali-kali...dan kali ini aku tak kuasa melihat wajahnya. Wajah penuh keraguan, kebimbangan, keletihan terlihat dari pelupuk matanya. Ya, diusianya yg menginjak 15 tahun, dia harus berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, menumpang hidup di rumah orang dengan bekerja sebagai buruh untuk membiayai sekolahnya. Kedua orang tuanya sudah tidak diketahui rimba dan jejaknya. Tega sekali kedua orang tuanya menelantarkan anaknya tanpa memikirkan bagaimana keadaan anaknya, “ apa dia sudah makan?”, “di rumah sama siapa?”, “bagaimana dengan pakaiannya?”, “sekolahnya?”aahh...pertanyaan-pertanyaan itu malah menggelayut  dipikranku dan tak tahu apa orang tuanya juga sepemikiran denganku saat ini? Sepertinya TIDAK!!! Buktinya.......faktanya pada saaat ini, takdir membawanya menjadi sebatang kara dan yang pasti dunia terlalu kejam buat dirinya untuk saat ini.
                Awalnya aku tidak tahu kalau dia sudah tidak tinggal dengan orang tuanya dan membiayai hidupnya sendiri, hal ini dikarenakan mungkin aku kurang peka dengan keadaan anak didikku diluar sekolah, dan baru kuketahui keadaan sebenarnya semenjak dia menginjakkan kakinya di kelas 9. Tapi yang jelas, aku sudah menyukainya sejak aku mulai mengajar ditempat ini. Sebut saja nama anak itu Arik, anaknya lumayan pintar, rajin, sopan, kreatif , kritis dan bisa menempatkan dirinya dimanapun dia berada atau dengan kata lain ngerti toto kromo.  Dalam artian yang luas bagaimana dia bertindak-tanduk, bagaimana caranya agar tetap bisa melanjutkan sekolahnya.  Itulah yang menjadi nilai plus baginya disaat banyaknya degradasi  moral  anak-anak jaman teknologi saat ini. Dimana teman-temannya banyak yang membolos, tidak memperhatikan guru yang mengajarnya, tidak ada sopan santun sama guru-gurunya, etc. Tetapi  dia berbeda, dia  rajin datang ke sekolah setiap hari walaupun kadang sering  terlambat  dengan alasan membantu bosnya masak di dapur,,ah anak ini makin membuat aku terharu, tak dapat berkata-kata lagi,  tak kuasa rasanya aku menahan air mata ini, tapi aku harus bertahan, aku tidak ingin membuatnya merasa begitu menyedihkan didepanku.  Dan ternyata kaupun bisa memasak. That’s great!!!
                “Bu, kemarin lusa saya lho yang nganter asbes ke rumah ibu lho..”, katanya dengan antusias sekali.
                “Lho, iya kah? kok bisa?” jawabku dengan antusias pula.
                “ Iya bu, sekarang saya kan bantu-bantu di mas Anto itu bu, mem bantu mengantar barang-barang pesanan ke rumah para langganan.” Jawabnya.
                “Bener  tah? Sejak kapan?” Makin antusias dan penasaran.
“ Begini bu awal ceritanya...bla...bla...bla...bla...”.
                Itulah awal mula aku mengerti tentang cerita Arik sebenarnya,  dia begitu antusias menceritakan kisah hidupnya berjuang sendiri untuk melanjutkan sekolahnya dan hidupnya tanpa orang tua disisinya disertai dengan guratan-guratan kesedihan yang terlihat jelas di mata dan serak suaranya.
                Dan lagi-lagi aku temui mutiara terpendam itu....
                Lanjutkan perjuanganmu nak, jalanmu masih panjang...semoga masa depan cerah menantimu. Aamiin J

Minggu, 25 November 2012

Prolog Novella

Ini kisah tentang kehidupan anak manusia, kalau disebut semua cerita kehidupan didunia ini adalah skenario dari Allah SWT memang benar sekali. Tawa, tangis, kesedihan, kebahagiaan silih berganti menghiasi kehidupan manusia begitu juga yang terjadi pada gada gadis kecil ini. Tara, sebut saja dia seperti itu. Terlahir dari keluarga yang kurang mampu dia berusaha untuk mewujudkan semua impian, cita-cita dan harapannya.

Sebenarnya dari kecil dia sudah banyak mengalami yang namanya kesusahan dan kesedihan. Semua itu seakan sudah menjadi makanan sehari-harinya atau bisa dikatakan telah menjadi santapan hariannya.Tetapi, namanya juga anak kecil, dia serasa tak menghiraukannya, dia tetap menikmati hari-harinya dengan teman-temannya. Bercanda, tertawa-tawa, feels that nothing happen, she enjoyed her life so much. 
Dia merasa hidupnya sudah sempurna, mempunyai ibu, bapak, adik..semua terasa lengkap walaupun tinggal dirumah yang sangat sederhana dan dalam keadaan yang pas-pasan bahkan jika dalam keadaan yang “tidak normal” dapat dikatakan serba kekurangan. Bagaimana tidak dapat disebut seperti itu jika kedua orang tua Tara hanya bekerja sebagai buruh tani yang bayarannya tidak menentu, kalau ada yang menyuruh atau butuh tenaganya maka orang tuanya akan bekerja tapi kalau tidak ada yang menyuruh maka akan mencari kayu bakar untuk dijual ke tetangga atau ”leles” kopi dikebun milik orang yang sudah dipanen. Kehidupannya makin menyesakkan ketika bapaknya yang sudah tua renta dan tidak kuat bekerja lagi harus berhenti bekerja, sehingga otomatis hanya ibunya yang menjadi tulang punggung keluarganya. Ibunya harus bekerja membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. That’s why she called her mom as a hero. For detail’s story, here we go...

Catatan Kaki :
Leles  : Mencari sisa kopi atau cengkeh dari hasil panen miliknya orang, biasanya dibawah-bawah pohon atau tertinggal beberapa yang ada di pohon.