Setelah
bapakku tidak kuat lagi untuk bekerja di sawah sebagai buruh tani, yang
meliputi mencangkul, “jombret1”, “unduh2”,”ngaret3
” .Karena faktor usia dan tenaganya yang sudah mulai rapuh otomatis
yang mencari nafkah adalah ibuku. Ya, ibuku menjadi tulang punggung keluarga,
ibu bekerja “srabutan4”sebagai
buruh tani. Dan kalau tidak ada yang membutuhkan tenaganya maka ibuku akan “leles5”
atau mencari kayu bakar untuk dijual, dimana uang hasil penjualannya untuk
keperluan kita sehari-hari.
Sampai pada suatu ketika ibu
mengambil batu loncatan baru dengan mencoba berdagang didepan rumah. Karena
kebetulan rumah kami jaraknya dekat dengan sekolahan SD (dimana sorenya ,
ditempati SMP) maka hal ini dimanfaatkan oleh ibu untuk berjualan jajanan atau
“snack” anak-anak sekolah. Walaupun
belum terlihat hasilnya tapi untungnya cukup lumayan, walaupun seringnya dapat untung yang
pas-pasan, tetapi yang penting cukup buat makan dan kehidupan kami berempat. Selain berjualan di depan rumah, kami biasanya
juga berjualan dimana ada kegiatan yang tidak biasa atau tontonan semisal film
layar tancap, wayangan, jaranan atau apapun itu yang ada dikantor kelurahan, di
desa lain atau dimanapun itu yang jaraknya lumayan jauh dari rumah, kami rela mendatanginya
untuk mendapatkan keuntungan yang lebih.
Karena kalau ada tontonan maka akan banyak orang yang menonton, baik hanya sekedar jalan-jalan
atau benar-benar ingin menikmati hiburan tersebut. Maklum, orang desa akan
antusias keluar rumah jika ada suatu tontonan. Hal ini dikarenakan tontonan itu
merupakan hal yang langka karena tidak pasti ada setiap tahunnya, hanya sewaktu-waktu
saja jika ada acara “bersih desa” dikelurahan atau ada orang yang punya “gawe”
nikahan atau “tanggapan”. Maka dari itu kami tidak pernah menyia-nyiakan
kesempatan ini, dimanapun tontonan itu berada pasti akan kita datangi. Jualan
kami pun bertambah, kami tidak hanya menjual
panganan berupa snack tetapi tetapi juga kacang rebus dan kacang goreng yang
merupakan favoritnya orang-orang desa. Dan yang pasti jualan kami yang bakal
ludes laris manis adalah kacang-kacangan itu. Yang paling membuat saya miris
dan sedih dengan semua ini jika melihat ibu menjajakan jualan kami yang masih
banyak sementara bapak harus menggendong adik yang sudah rewel karena
mengantuk, dan saya hanya melihat kepolosan “kesedihan” anak kecil dalam diri
saya. Dan satu hal yang tidak dapat saya tolerir adalah “kesedihan” dalam hati saya ketika harus
melihat bapak saya yang sudah tua renta
harus memikul jualan kami dari rumah sampai tempat tontonan berada, dimana yang
rata-rata semua jaraknya sangat jauh dari rumah kami. Saya benar-benar tidak
tega melihatnya, melihat punggung tuanya yang sudah mulai membungkuk ditambah dengan
beban berat pikulannya membuat jalannya terseok-seok..oh bapak..hal ini yang
tak pernah aku lupa darimu. Dan kami berempat akan berangkat sore sekitar jam
empatan atau sebelum maghrib dan pulang tengah malam, dimana orang-orang lain
sudah tertidur pulas dengan selimutnya tetapi kami masih melangkahkan kaki kami
untuk pulang demi mengumpulkan recehan rupiah untuk kelangsungan hidup kami.
Dan di episode “perdagangan” ini ada satu fase yang tak
akan pernah kulupakan sepanjang hidupku
dan akan selalu terngiang-ngiang dalam ingatanku sebagai kisah paling
menyedihkan dan memilukan seorang ibu dan anak. Padahal waktu itu aku masih
kelas satu SD tapi masih sangat jelas dalam ingatanku. Dan itu merupakan awal
mulanya ibu mulai berdagang. Seperti yang telah aku sebutkan sebelumnya pada
awalnya ibu hanya jualan jajan-jajan snack anak sekolah seperti krupuk,
menyeng, mie, dll. Saat itu, hari minggu tepatnya, tiba-tiba ibu diajak
tetangga kami yang rumahnya tidak jauh dari rumah kami untuk berjualan di “persel”,
dimana pada hari itu para pekerjanya akan gajian.
“Mbah De, ayo
ikut aku ke “persel” jualan. Sekarang di “persel” pekerjanya
bayaran jadi uangnya banyak, kalau kita jualan kesana pasti laris manis. Aku
mau jualan gorengan. ” Kata tetanggaku.
“Lha aku cuma
jualan jajan seperti ini apa ada yang beli?” kata ibuku
“Ya malah laris
mbah, kalau gajian seperti ini orang-orang pada antusias membelanjakan uangnya,
banyak juga yang jualan disana, ayo ya berangkat sekarang? “ lanjut tetanggaku
dengan antusias dan berapi-api.
“Tapi jajanku cuma krupuk-krupukan gitu apa ya bakal laku lho Ni?” Ibuku
berkata agak ragu
“Halah..sudah
jangan khawatir, pasti orang-orang bakal beli..orang-orang disana itu 'rakus' banget dalam membelanjakan uangnya, kalau beli tidak satu atau dua malah
diborong, sudah ya bungkus semua daganganmu, aku tak pulang mengambil
daganganku.” Kata tetanggaku dengan penuh provokasi.
Kali ini ibuku benar-benar terprovokasi dan dengan
antusiasnya ibu memasukkan semua jajan-jajan itu kedalam kresek merah besar,
jadilah dua kresek besar dan satu kresek kecil putih. Dan saat itu ibu mengajak
aku sekalian. Jam 13.30, disaat panas
begitu teriknya kami berangkat ke ”persel”, yang jaraknya lumayan jauh
dari rumah. Lewat jalan beraspal kami bertiga menyusuri jalan dibawah terik
matahari yang begitu menyengat tapi kami tidak menghiraukannya karena
disepanjang jalan tetanggaku itu terus bercerita ‘manis’ tentang keadaan
disana, kalau memang suasananya ramai, orang-orang semuanya pada beli, dagangan
kita pasti laris manis diserbunya, karena orang –orang ini belinya tidak
perbiji tapi diborong. Pokoknya tetanggaku ini benar-benar hebat dalam
memprovokasi dan melambungkan angan-angan kami, terutama diriku, aku sudah
membayangkan betapa dagangan kami bakal laris manis dan kami akan memperoleh
uang banyak. Beberapa lembaran rupiahpun sudah menari-nari dibenakku. Kamipun tersenyum-senyum,
aku yakin apa yang dipikirkan ibuku pasti sama dengan yang aku bayangkan karena
tetanggaku cerita kalau dagangannya dan dagangan adiknya selalu habis tak
tersisa. Biasanya dia jualan dengan adiknya tapi berhubung adiknya tidak jualan
hari ini makanya tetanggaku mengajak ibuku sebagai temannya sekaligus jualan.
Mimpi kami, senyum kami, tertawanya kami sekejap sirna setelah kami menjajakan
dagangan kami. Setiba di “persel” memang suasananya lumayan rame, kami
menggelar dagangan kami dengan senyum merekah yang menghiasi bibir kami. Ibuku
menggelar dagangannya tepat disebelah gelaran dagangan tetanggaku, karena
tetanggaku hanya jualan gorangan jadi dia tidak membutuhkan space luas, hanya
dua patiman dan tempat dia duduk. Sementara ibuku menggelar dagangannya diatas
“kebo6” yang telah kami bawa dari rumah. Disitu suasananya
memang seperti pasar tapi terletak
ditengah kebun kopi, para pedagang mengelar dagangannya dipinggir jalan yang
dilewati para pekerja dimana dikanan kiri jalan itu penuh dengan pohon kopi (ya
iyalah secara memang itu kebun kopi). Di pasar itu lumayan banyak pedagang
menjajakan jualannya, ada yang jual kain, baju, peralatan masak, alat-alat
rumah tangga, jualan kacang goreng atau rebus, nasi pecel, gorengan, dan
satu-satunya yang jualan jajan-jajan snack, ya cuma kami berdua (aku dan ibuku),
kelihatan sekali apa yang kami jual tidak berkelas.
Hal yang ditunggu-tunggu tiba, sekitar jam 3 atau
setengah 4an para pekerja yang habis
gajian datang dengan tawa riang dan senyum sumringah dari bibirnya (secara
habis gajian gitu). Ya, saya akui pekerjanya memang banyak, sekitar 50an lebih,
oiya para pekerja ini adalah para pekerja perempuan. Yang paling banyak diserbu
oleh ibu-ibu adalah para penjual baju dan peralatan masak. Stand tetanggaku
juga sudah mulai dikerubungi oleh pembeli sampai dia kewalahan, saya melihat
hampir semua dagangan para penjual disana ramai oleh pembeli, dan kau tahu
kawan betapa sedih dan tertusuknya hati kami ketika tak seorangpun yang membeli
dagangan kami, bahkan ibuku tiap ada yang lewat selalu menjajakan dagangan
kami.
“krupuknya mbak...jajannya mbak...”
“krupuknya mbak...jajannya mbak”...
Berkali-kali tapi no respon. Bahkan banyak dari para
pekerja itu yang bukannya membeli tetapi malah mlengos dan mencibir ke arah
kami. Kesannya seperti bilang ” jajan seperti itu aja kok dijual
disini”...ahh..tatapan mata mereka itu, aku tidak akan pernah melupakannya
sampai saat ini, tatapan sinis dan merendahkan.
Akhirnya, setelah menunggu sekian lama ada juga pembeli
yang membeli dagangan kami itupun cuma satu. Aku rasanya tidak tega melihat
wajah ibuku, betapa aku melihat kekecewaan diraut wajahnya. Ibu...akupun juga
merasakan hal yang sama, makin sesak ketika melihat semua stand ramai
dikunjungi pembeli dan terdengar slentingan beberapa pekerja sambil jalan kasak
kusuk berkata bahwa disini kok jualan seperti itu, ya mana laku? Sampai
beberapa lama pembeli kami tak bertambah hanya 2 atau 3 orang saja, sampai pada
akhirnya ada salah satu tetanggaku yang juga pekerja disini menghampiri kami.
“Loh mbah De, kok bisa sampai sini?sama siapa?” Tanya
tetanggaku
“Sama mbok Tini.” Jawab ibuku
Melihat dagangan ibuku yang masih banyak, dari tatapan
tetanggaku aku bisa menyimpulkan seperti ini..merasa kasihan juga sekaligus menganggap
kami bodoh.
Lalu dia berkata,
“Harusnya pean
jualan kacang rebus gitu juga karena disini kalau cuma jualan seperti ini tidak
ada orang yang tertarik, kalau krupuk-krupuk dan jajan seperti ini mereka
sering makan dan ini kan jajanannya anak kecil.” (Tatapan matanya,
mengisyaratkan ‘sorry to say this’)
“ Iya ini tadi tidak kepikiran sampai kesitu”, jawab
ibuku dengan lemahnya.
“Tidak apa-apa
mbah, kalau tidak begini kan tidak tahu suasana pasar “persel” “,kata
tetanggaku sambil berlalu pergi.
Karena setelah sekian lama tidak ada pembeli, akhirnya
ibuku mengajakku pulang. Kami memasukkan dagangan kami kembali ke kresek merah,
sementara itu kulihat dagangan tetanggaku masih laris manis diserbu pembeli.
Setelah selesai membungkus semuanya, ibuku pamit ke tetanggaku.
“Ni, aku pulang dulu ya?”
“Loh pulang
mbah? Ya wes, aku tak menghabiskan ini dulu, tinggal sedikit”. Jawabnya sambil
meladeni para pembeli.
Disepanjang jalan pulang kami berjalan dengan gontai
seperti orang yang kalah perang, kami tidak mendapatkan apa-apa, benar-benar
tidak sesuai dengan pengorbanan dan perjalanan kami menempuh jarak sejauh itu
tanpa dapat apa-apa. Ibuku tidak berkata apa-apa, hanya diam seribu bahasa dan
dari raut wajahnya terlihat kekecawaan yang begitu mendalam. Aku dengan
kepolosan dan kesedihan dalam diriku bebicara sendiri tapi dengan keras dan nada marah.
“Kok jualan kita tidak ada yang membeli ya?”
“Malah jualannya mbok Tini laris...banyak yang beli,
hoalah”
Aku yakin ibuku mendengarnya dengan jelas tapi hanya satu
kalimat yang keluar dari mulutnya yang membuat air mataku tidak berhenti jatuh
menetes yang terus menerus ke pipiku disepanjang perjalanan kami menuju ke
rumah.
“Untung ae nduk, kamu tadi ikut, sehingga emak ada
temannya”. Hanya satu baris kalimat itulah yang keluar dari mulut ibuku.
Jleb! Saat itu juga airmataku terus menerus mengalir, tak
terbendung, tak dapat tertahankan dan aku tidak dapat berkata apa-apa, sesak
rasanya hati ini. Karena hal ini, aku
jadi tidak merasakan beban berat
dagangan kami yang ada di kresek merah. Aku terus berjalan menunduk di belakang
ibuku agar tidak terlihat olehnya kalau aku menangis, tapi aku tahu pasti di
saat yang sama pula ibuku pun juga sedang menangis meraung-raung dalam hatinya.
Oh..Ibu I love you so much.
CK:
1. Memotong rumput-rumput yang ada di kebun kopi
2. Memetik atau memanen kopi
3. Mencari rumput untuk makanan kambing
4. Gonta ganti atau apa saja
yang bisa di kerjakan
5. Kebun kopi milik PTPN XII
6. Tikar yang terbuat dari karung beras