Setelah beberapa tahun ibuku mencari nafkah dengan
berdagang, akhirnya ibu berhenti juga dari pekerjaannya dan mengadu nasib ke
kota dengan menjadi buruh. Yup! Buruh teman...sebenarnya jualan emakku maju
pesat, tidak hanya menjual jajan tapi juga rujak manis. Dan rujak manis inilah
yang membuat laris manis, masih jelas dalam ingatanku kalau kios toko kami
lumayan bertambah besar. Dan baru ku ketahui saat ini kalau ibuku memutuskan
untuk menutup warungnya dan bekerja sebagai buruh karena ada tetangga yang
menyainginya dan berbuat tidak baik terhadap dagangannya sehingga jualan ibu menjadi
sepi.
Awalnya ibuku bekerja di Jakarta sebagai buruh anak
tetanggaku. Alhasil kami cuma tinggal bertiga dirumah, diusiaku yang masih
kecil aku harus mengurus adikku termasuk mencucikan bajunya, mendandaninya
sebelum berangkat sekolah. Dan yang paling menyebalkan adalah ketika harus
mencucikan ompolnya. Ya, walaupun sudah TK tapi adikku masih suka mengompol.
Walaupun kadang sebel dengan tingkahnya yang masih ngompol tapi aku tanpa
terpaksa tetap mencuci ompol dan baju-bajunya, yah aku sangat menyayanginya.
Secara tiba-tiba dalam diriku tumbuh rasa ‘”responsibility” untuk menjaga
adikku dan membantu semua keperluannya. Ya, aku seakan menjadi ibu dan kakak
untuknya, walaupun kami sering bertengkar tapi saya selalu berusaha berbuat
terbaik untuknya dan melindunginya. I love you sist...Sementara bapakku sibuk
dalam urusan dapur dan memasakkan untuk kami semua. Ah..bapak I love you too.. J
Dan bapak menjadi ‘ibu’ rumah tangga dikeluarga kami,
karena usianya sudah renta maka pekerjaannya hanya memasak di dapur. Setelah
bekerja di Jakarta, yang pulangnya tidak menentu, ibu memutuskan untuk bekerja ke
kota yang dekat dengan kami. Ibu bekerja di kota Malang dan lagi-lagi masih
sebagai “buruh”, kalau sekarang sih istilahnya sebagai asisten rumah tangga. Karena
ibu tidak juga tidak menentu mengirimi kami uang, maka kami yang dirumahpun
meng’irit’ atau berhemat, tepatnya bukan meng’irit ‘ tetapi memang tidak ada
sehingga yang kami buat makan sehari-haripun ‘seadanya’. Tahukah kau
kawan-kawan, apa makanan pokok kami selain nasi? dan bagiku ini adalah lauk
‘terlezat’ yang pernah kurasakan dalam hidupku. This is it ‘duduh’ tanpa
sayur, just ‘DUDUH’ kawan...D-U-DU-Hรจ’DUDUH’, yup! tiap
hari kami hanya makan nasi sama ‘duduh’. ‘Duduh’ itu kalau dalam
bahasa Indonesia adalah kuah santan yang telah di beri bumbu, hanya kuah santan
tanpa ada sayur didalamnya. Hal ini di karenakan tidak ada uang untuk membeli
sayur atau lauk untuk dimasukkan dalam ‘duduh’ itu. Walaupun tidak ada isi
sayur didalamnya, kami bertiga begitu menikmatinya ketika menyantapnya, that’s
why I called it’s delicious food ever. Setiap tetangga atau saudaraku yang
menanyakan kepadaku, “Bapakmu masak apa Tara?” saya dengan lantang dan pede
menjawab ‘DUDUH!’, dan seperti biasa tetanggaku bakal nyeletuk
“bendino kok duduh”(tiap hari kok masak duduh). Yah, memang seperti itu kenyataannya
dan tak ada rasa malu atau apapun dibenakku, malah merasa ‘bangga’ karena tidak
ada yang menyamai. Mana ada orang yang hanya memasak santan..ahh.. bapak memang
hebat, he’s pioneer of ‘duduh’. ‘Duduh’yang telah menghidupi kami
dan membuat kami menjadi orang-orang yang tegar seperti saat ini. Hidup ‘Duduh’!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar